Ketika surat ini kutulis, langit di Ibu Kota masih hitam. Hujan sejak sore sampai malam belum juga reda. Hujan ini mengingatkanku ketika kecil dulu. Bersama-sama ayah, bunda dan adik bergumul di kasur yang tak begitu luas, saling bercanda dan sesekali jika lapar kami makan nasi goreng atau pisang goreng yang telah bunda siapkan di dapur mungil belakang rumah. Bunda, saya senang suasana seperti itu apalagi hanya disinari lampu sekedarnya sebab musim hujan di desa sepertinya PLN memang hoby mematikan lampu rumah-rumah penduduk.
Bunda,
Saya tahu engkau merindukanku untuk bercanda bersama dalam kehangatan kasih sayang. Namun apa daya, jarak memisahkan kita. Engkau di desa sedang saya di kota. Terkadang terpikir mengapa engkau selalu mendorongku menjadi penduduk metropolititan. Sebenarnya saya tidak suka dengan bising kota. Saya lebih senang dengan suara jangkrik atau kodok di sawah belakang rumah. Namun apa daya, engkau memintaku kemari.
Berulang kali saya memaksamu untuk hidup di kota tapi engkau menolak tanpa alasan. Berulang kali kuutarakan ingin hidup di desa, namun engkau ingin saya jadi orang kota. Awalnya saya tidak mengerti. Namun ketika gelar sarjana itu sudah tersandang, saya baru menyadarinya mengapa engkau ingin agar saya menjadi orang kota. Rupanya hanya dengan menjadi orang kota kita bisa menguasai desa. Seperti untaian lagu ”Di desa, di kota tumbuh dan gelisah seperti kembang dalam belukar. Seperti mata air kehilangan sungai. Desa di miliki oleh orang kota. Kota di miliki orang desa. Petani mencari nafkah di kota. Orang kota mencari kekayaan di desa….”
Ketika orang-orang kota itu berhasil membuat perumahan mewah di samping kanan-kiri pabrik yang juga kokoh, orang desa berbondong keluar desa menjadi TKI/TKW. Baru saya sadari rupanya bunda mengirimku ke kota agar tidak jadi TKI/TKW. Masih teringat di pelupuk mata ketika Bunda ke sawah memanen kelapa, sayur-mayur dan apapun hasil bumi lalu dijual di pasar dan uangnya dikirim ke kota agar saya nyaman dan bahagia belajar di kota. Tidak mudah bagi anak perempuan desa menuntut ilmu sampai jenjang sarjana di Ibu Kota. Banyak cibiran penduduk desa, ”buat apa sekolah jika akhirnya ke dapur”, namun Bunda tak pernah hiraukan itu. Bagi saya hal itu merupakan keberpihakan yang melawan budaya dan adat. Namun bunda memang hebat di mata saya.
Bunda,
Ketika kecil saya tidak memahami mengapa perempuan desa yang menginjak dewasa harus dipingit, lalu dijodohkan, dinikahkan, punya anak, mengalami kekerasan dari suaminya namun diam meski hidupnya mengalami ketidak adilan. Engkau mengirimku belajar ke kota agar terhindar struktur masyarakat yang demikian. Kata orang kota itu namanya patriakhi dimana perempuan tak punya hak atas tubuhnya. Bunda, rupanya engkau memintaku agar selalu belajar dan belajar di kota agar bisa memahami bahwa identitas gender itu membentuk peran gender dan kemudian melahirkan marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban ganda bagi perempuan.
Bunda,
Sebenarnya melalui surat ini saya ingin bertanya kembali mengapa engkau tak mengijinkanku untuk kembali ke desa meski gelar sarjana itu sudah tersandang?
Bunda,
Mengapa engkau terlihat bahagia ketika saya bisa bersama-sama mereka yang kerap mengalami diskriminasi, kekerasan, subordinasi akibat struktur masyarakat yang timpang? Apakah ini tujuanmu mengirimkanku ke kota agar bisa bersama-sama dengan mereka korban struktur masyarakat yang timpang, korban kapitalisme, korban modernisasi? Atau apakah kau ingin agar saya melawan tirani, melawan ketidak adilan, merubah struktur masyarakat yang adil. Bunda, tiap kali saya ingin menceritakan betapa ”konyol” memainkan peran tersebut, namun melihat senyummu dan menatap matamu yang penuh harap agar saya menjadi orang kota dengan tujuan kelak bisa menguasai desa itu membuatku bertahan di sini.
Salam ta’dzim
Putri yang menyayangmu selalu
0 comments:
Posting Komentar