Bermula dari Asian Games III tahun 1958 yang digelar di Tokyo, Jepang. Pada saat itu, Asian Games Federation menunjuk Indonesia menjadi penyelenggara Asian Games IV pada tahun 1962. Selain kebanggaan karena memperoleh kepercayaan tersebut, pada sisi lain juga menjadi tantangan besar. Mampukah Indonesia yang kondisi sosial ekonomi dan politiknya baru saja stabil menyelenggarakan event besar tersebut? Apalagi, pada saat itu fasilitas olahraga jumlahnya amat terbatas. Rupanya Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, justru menyambut gembira tantangan tersebut. Bung Karno bergerak cepat. Pertama, segera menetapkan Senayan sebagai lokasi gelanggang olahraga terpadu.
Tak lama kemudian, tanggal 8 Februari 1960, menancapkan tiang pancang Stadion Utama sebagai pencanangan pembangunan kompleks Asian Games IV, disaksikan wakil perdana menteri Uni Soviet, Anastas Mikoyan.. Total luas kompleks olahraga yang akan dibangun sekitar 300 hektar. Pembangunannya "menelan" empat kampung yaitu Senayan, Petunduan, Kebun Kelapa, dan Bendungan Hilir. Pada 19 Mei 1959, dimulailah pembebasan tanah dan pembongkaran bangunan. Warga yang tergusur mencapai 60.000 orang. Mereka dipindahkan ke Tebet, Slipi dan Ciledug.
Selain dibangun dalam rangka penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta, mega proyek yang dananya diperoleh dari kredit lunak Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS ini juga diharapkan nantinya kompleks olahraga ini dapat dijadikan sebagai paru-paru kota dan ruang terbuka tempat warga berkumpul. Pembangunan fisik komplek olahraga itu dapat diselesaikan sebulan menjelang pembukaan Asian Games IV.
Setelah selesai, maka pada tanggal 21 Juli 1962 pukul 17.00 WIB Presiden Soekarno meresmikan
penggunaan Stadion Utama. Stadion ini memiliki kapasitas tempat duduk 100.000 orang. Sebulan berikutnya, pada 24 Agustus 1962, digelar upacara pembukaan menandai penyelenggaraan Asian Games IV. Pada event tersebut atlet tuan rumah menunjukan prestasi terbaiknya. Ketika itu Indonesia menduduki peringkat kedua dalam pengumpulan medali - setelah Jepang yang keluar sebagai juara umum. Indonesia merebut 11 emas, 12 perak dan 28 perunggu. Suatu prestasi yang hingga kini belum pernah terulang lagi.
Pada waktu itu GBK dengan stadion sepak bolanya merupakan termasuk salah satu stadion terbesar di dunia dengan kapasitas 100 ribu penonton. Menjelang Piala Asia 2007, dilakukan renovasi pada stadion yang mengurangi kapasitas stadion menjadi 88.083 penonton. Jika diperhatikan bentuk arsitekturnya, stadion ini sangat mirip dengan stadion Luzhniki di Moscow, Rusia. Hal ini karena kedua stadion ini dirancang oleh orang yang sama. Saat itu Indonesia di bawah Presiden Soekarno berhubungan baik dengan Uni Soviet (Rusia) kala itu.
Nama Gelora :
Nama "Gelanggang Olahraga Bung Karno" diumumkan pertama kali oleh Ir Djuanda, selaku pejabat presiden selama Presiden Soekarno berada di luar negeri (waktu itu) yang mengumumkannya sebagai nama yang akan diberikan pada kompleks olahraga AG-IV itu. Usai Asian Games nama Gelora Gelora Bung Karno resmi digunakan dengan status sebagai yayasan yaitu Yayasan Gelora Bung Karno (YGBK), dibentuk secara resmi melalui Keppres No. 318 Tahun 1962 tanggal 24 September 1962.
Pada masa orba, dalam rangka mengecilkan peran Soekarno (de-Soekarnoisasi), nama gelora/stadion ini diubah menjadi istana olahraga (istora) senayan dan stadion utama Senayan. Namun setelah bergulirnya era reformasi, pada tanggal 19 Februari 2001, Presiden Abdurrahman Wahid melalui Keppres No. 7 Tahun 2001 menetapkan pemakaian kembali nama Gedung Olahraga (Gelora) Bung Karno dan Stadion Utama GBK, sampai sekarang.
Hak Pengelolaan :
Sejak 24 September 1962, pengelolaan kompleks olahraga ini dilakukan oleh Yayasan Gelora Bung Karno (YGBK) dengan bantuan subsidi dari pemerintah. Namun, kesulitan ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1966 membuat pemerintah mencabut subsidi bagi YGBK dan sejak saat itu pula YGBK berubah nama menjadi Yayasan Gelanggang Olahraga Senayan (YGOS). YGOS yang ditugaskan mengelola gelora tersebut dikarenakan tidak mendapat subsidi dari pemerintah maka menggandeng mitra usaha sebagai sumber pendanaan dengan membangun sarana olahraga dan non-olahraga yaitu lapangan golf 20 hektar (1968), golf Driving Range (1970), Hotel Hilton 13 hektar, 1971), dan Balai Sidang Jakarta (1974).
Pada tahun 1984, YGOS bubar dan mengalihkan tugas pengelolaan ke tangan Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada masa dikelola oleh BGPS, komplek olah raga senayan semakin terbuka terhadap kehadiran perkantoran, hotel, dan pusat perbelanjaan. Hasilnya komplek yang pada mulanya mempunyai luas sebesar 279,1 hektar namun sekarang telah mengalami penyusutan wilayah menjadi hanya tinggal 136,84 hektar (49 %) saja.
Dari jumlah yang 51% yang hilang itu, 67,52 hektare (24,2% dari luas semula) digunakan untuk berbagai bangunan pemerintah seperti Gedung MPR/DPR, Kantor Departemen Kehutanan, Kantor Departemen Pendidikan Nasional, Gedung TVRI, Graha Pemuda, kantor Kelurahan Gelora, SMU Negeri 24, Puskesmas, dan rumah makan. Sisanya yang 26,7% atau 74,74 hektare disewakan (dijual ?) untuk berbagai bangunan seperti Hotel Hilton (sejak dikelola YGOS), kompleks perdagangan Ratu Plaza, Hotel Mulia, Hotel Atlet Century Park, Taman Ria Remaja Senayan, Wisma Fairbanks, Plaza Senayan dan berbagai bangunan komersial lainnya.
Pada era reformasi setelah lengsernya Soeharto, maka sejak digunakannya kembali nama "Gelora Bung Karno" oleh Presiden Abdurrahman Wahid melalui Keppres No. 7 Tahun 2001, maka pengelola GBK juga berubah seiring pergantian nama dari istora senayan menjadi GBK yaitu dari Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) menjadi Badan Pengelola Gelora Bung Karno (BPGBK). Secara ex officio, baik BPGS maupun BPGBK diketuai oleh Menteri Sekretaris Negara.
Kondisi sekarang :
Pada awalnya Gelora Bung Karno adalah suatu kawasan yang didesain oleh Bung Karno sebagai sarana olahraga, paru-paru kota dan ruang publik. Namun kini dengan banyaknya bangunan yang tidak sesuai dengan konsep awal tersebut dinilai telah merugikan kepentingan masyarakat dan mengkhianati cita-cita Bung Karno itu sendiri. Bung Karno berharap dengan didirikannya komplek olah raga tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan prestasi olah raga para atlit Indonesia yang nantinya dapat meningkatkan harga diri bangsa di dunia Internasional.
Karena kawasan Gelora Bung Karno di masa sekarang telah menjadi pusat bisnis maka dikhawatirkan arena olah raganya itu sendiri akan hilang sehingga jangan kaget jika suatu saat namanya berubah menjadi Gelora Bisnis Center Bung Karno.
0 comments:
Posting Komentar