Prediksi Hilal Awal Ramadhan 1434 H/2013 M

Visibilitas atau kenampakan hilal segera setelah fase konjungsi pascaterbenamnya Matahari dipengaruhi oleh beragam faktor. Pada mulanya, faktor konfigurasi ketiga benda langit terkait (yaitu Matahari–Bumi–Bulan) seperti elongasi, beda tinggi, dan beda azimut digunakan sebagai prediktor visibilitas. Diawali oleh Bruin, studi yang lebih komprehensif dengan melibatkan peran cahaya senja dalam melemahkan cahaya hilal membawa sains hilal memasuki babak baru. Bahkan dilanjutkan Schaefer, Yallop, dan Sultan, pengaruh sensitifitas alat optik yang digunakan, termasuk mata, turut ambil bagian dalam menentukan visibilitas hilal.
Mengadopsi model visibilitas untuk objek-objek langit yang berada di dekat Matahari dari Kastner (1976), telah diperoleh prediksi visibilitas hilal penentu awal Ramadhan 1434 H/2013 M. Prediksi diberikan untuk visibilitas hilal pada hari Senin 8 Juli 2013 yang bertepatan dengan hari terjadinya konjungsi yang menandai berakhirnya satu siklus lunasi sebagai penanda akhir bulan berjalan sekaligus awal bulan yang baru, dan untuk hari Selasa 9 Juli 2013. Perhitungan dilakukan dalam modus pengamatan dengan mata telanjang untuk beragam kondisi atmosfer setempat, yaitu dengan asumsi atmosfer yang bersih, agak keruh, hingga keruh, untuk lokasi pengamat di Bandung (6,86 Lintang Selatan; 107,59 Bujur Timur di ketinggian 968 m dari permukaan laut) dengan pengaturan toposentrik (pengamat di permukaan Bumi) dan memperhitungkan faktor pembiasan oleh atmosfer. Prediksi yang dihasilkan ditampilkan dalam bentuk grafik fungsi visibilitas terhadap waktu. Bila fungsi visibilitas bernilai positif, berarti kecerahan hilal melampaui kecerahan langit senja dan langit malam, yang berarti bahwa hilal berpeluang untuk dapat diamati selama cuaca mendukung. Sebaliknya, manakala fungsi visibilitas bernilai negatif, hal ini berarti hilal lebih redup dibandingkan kecerahan langit senja dan langit malam sehingga membuatnya tidak akan dapat diamati. Grafik-grafik tersebut ditampilkan berikut ini.


Berdasarkan Gambar 1, baik sebelum maupun setelah Matahari terbenam, hilal tidak dapat diamati dengan mata telanjang. Pada saat Matahari terbenam 8 Juli 2013, nilai-nilai elongasi, beda tinggi, dan beda azimut antara Matahari dan Bulan berturut-turut adalah 4,58 derajat, 0,64 derajat, dan 4,53 derajat. Bila dibandingkan dengan kriteria visibilitas hilal yang dianut Kementerian Agama (KEMENAG) RI selama ini, di antaranya nilai ketinggian minimal 2 derajat, maka nilai beda tinggi di atas tidak memenuhi syarat yang ada. Nilai beda tinggi tersebut bersesuaian dengan tinggi Bulan –0,58 derajat (Bulan di bawah ufuk) pada saat Matahari terbenam. Meski elongasi (4,53 derajat) telah melampaui syarat minimal menurut kriteria KEMENAG (yaitu minimal sebesar 3 derajat), faktor ketinggian adalah faktor yang sangat menentukan.
Berlawanan dengan kondisi di hari terjadinya konjungsi, pada Selasa 9 Juli 2013 bertepatan dengan saat Matahari terbenam elongasi dan beda tinggi antara Matahari dan Bulan telah bertambah cukup besar, yaitu masing-masing bernilai 12,72 derajat dan 11,07 derajat, serta beda azimut sebesar 5,20 derajat. Untuk kondisi atmosfer yang bersih, dengan konfigurasi geometri antara Matahari dan Bulan seperti ini, fungsi visibilitas memiliki nilai positif sejak 5 menit hingga 48 menit pascaterbenamnya Matahari (Gambar 2). Kondisi optimum yang ditandai dengan nilai fungsi visibilitas terbesar, terjadi pada 35 menit setelah Matahari terbenam. Dalam jendela waktu (~ 40 menit) yang tersedia ini, hilal berpeluang untuk dapat diamati dengan mata telanjang selama cuaca mendukung. Artinya, para pengamat harus bersiaga dalam jendela waktu tersebut untuk berhasil mengesani sosok hilal Ramadhan.

0 comments:

Posting Komentar