Kisah 100 Rupiah

Uang logam bergambar gunung wayang atau rumah gadang  itu selalu dicari ketika badan meriang karena masuk angin. Kebiasaan nonton bola sampai dini hari membuat angin begitu ramah menjamah. Istri pun ikut sibuk mencari-cari koin langka tersebut. Nilai finansialnya yang tak berarti tidak menurunkan manfaatnya sebagai alat bantu mengusir angin. Mudah dan praktis. Tinggal bertelanjang dengan menyisakan celana pendek saja. Tidak berapa lama istri pun sudah siap menggarap punggung suaminya. Sayang, goresan merah di punggung tidak bisa terlihat karena badan telungkup di kasur busa yang tergeletak di depan TV. Belum lagi istri menduduki pantat ini. Tidak bisa berkutik sama sekali. Sama seperti tidak berkutiknya uang 100 rupiah. Secara finansial, koin ini tidak berharga. Bukankah sekarang tidak ada lagi barang berharga 100 Rupiah saja?

Sepasang anak- satu bogel satu dan satunya tinggi kurus- bergegas pergi jam enam pagi. Pasangan bersaudara yang berbeda dua tahun tersebut mirip Arnold Schwarzenegger dan Danny DeVito pada film Twins yang baru dirilis tiga tahun kemudian. Seragamnya menunjukkan dua anak kampung itu murid SMA. Di saku celana abu-abunya masing-masing tersimpan uang logam 100 rupiah.  Setiap pagi kedua anak itu selalu harus memutuskan bagaimana cara membelanjakan uang pemberian ayah tercinta. Jika mau menambah jatah jajan di sekolah maka harus rela berjalan kaki sejauh tiga kilometer.

Keputusan yang paling sering diambil adalah melupakan naik angkot. Toh percuma juga naik mobil angkot- ketika itu kami menyebutnya pikeup- karena jalan yang dilalui angkot berjarak setengah dari jarak rumah ke sekolah. Begitulah nasib anak sekolah yang rumahnya hanya dilewati jalan desa saja.

Kedua cowok culun itu adalah siswa kelas 1 dan 3 di SMA pada tahun 1983. Sekolahnya adalah SMA negeri satu-satunya di kota ketika itu, kini jadi SMAN 1 Majalengka. Ada cerita lucu- sebenarnya memalukan sih- ketika si Bogel  tidak mau sekolah seminggu. Gara-garanya sepele, tidak mau memakai celana panjang. Rasanya aneh jika dengan tinggi badan kurang dari satu setengah meter harus seperti orang dewasa yang bercelana panjang. Apalagi celana panjang itu terlihat licin dan lancip di ujung depannya. Lancip gara-gara digosok pakai setrika arang.

Sampai saat ini saya juga heran sendiri, kok alasan si Bogel kecil itu sungguh memalukan dan terkesan kampungan. Tapi, memang benar-benar orang kampung kok. Moda transportasi di depan rumahnya aja cuma becak dan delman. Masih beruntung orang yang punya sepeda kumbang. Batu-batu kecil seukuran kepalan tangan bayi pun masih berserakan di jalan tak beraspal. Tidak heran jika belum ada trayek angkutan kota, bahkan sampai saat ini pun tetap begitu. Bedanya, sekarang jalan itu sudah beraspal.

Dengan berjalan kaki, kami menghemat uang transport sebesar 50 Rupiah. Itu harga yang harus diberikan ke kenek jika naik angkot pulang-pergi. Padahal cuma bergelantungan di belakang angkot kurang dari 10 menit saja. Dengan penghematan tersebut kami bisa jajan lebih banyak atau menabung. Es gula cakar seharga 25 Rupiah di warung menjadi pengusir dahaga sesampainya di sekolah. Warung itu persis di seberang gerbang sekolah.

Gula cakar adalah gula yang terbuat dari tetes tebu. Bentuk gulanya seperti kue berbentuk kotak seukuran 4 cm kubik. Warnanya merah muda menyala. Cukup dengan diguyur air dingin, gula cakar itu mudah mencair di dalam gelas yang kami sebut dengan gelas sirop. Dengan ditambah sebongkah es batu, minuman segar nan sederhana dan murah itu pun langsung habis dengan dua kali tegukan.

Ketika lonceng berbunyi, anggaran pun tersisa 75 Rupiah. Uang di genggaman pun menjadi dua keping yang jauh lebih kecil, satu koin 50 Rupiah dan satunya lagi 25 Rupiah.  Kadang kami memperoleh uang kembalian yang lebih kecil, 10 dan 5 Rupiah

Lonceng tanda istirahat pun berdentang nyaring. Selepas bersenda gurau di kelas, biasanya kami langsung memanfaatkan anggaran rutin harian yang kini tersisa 75 Rupiah. Tidak banyak pilihan jajanan dengan uang sebesar itu. Kami pun memilih makanan favorit yang murah meriah, bakwan goreng. Makanan sejuta umat kala itu terbuat dari adonan terigu cair yang dicampur cacahan sayur kol. Cetakannya pun memanfaatkan sendok sayur. Tidak heran bentuk bakwannya pun seperti sorabi, tapi dengan ukuran lebih kecil.

Kami hanya menyantap satu bakwan seharga 25 rupiah. Bakwan kecil itu pun diletakkan piring kecil yang disebut pisin. Setelah bakwannya dicabik-cabik dengan sendok garpu kecil, saus tomat dicampur cacahan cabe rawit pun diguyurkan ke atas bakwan. Potongan-potongan kecil bakwan itu pun segera dilahap. Terasa nikmat, namun begitu cepat tersantapnya.  Es gula cakar kembali menjadi minuman penghilang pedas dan dahaga. 50 Rupiah pun habis dibelanjakan saat istirahat.

Uang di tangan pun tinggal 25 rupiah. Ada dua pilihan untuk memanfaatkannya. Pulang dengan angkot, kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki 1,5 km. Atau, jalan kaki dari sekolah sampai rumah sejauh 3 km. Keputusan yang paling sering diambil adalah berjalan kaki saja. Sisa uang pun bisa kami tabung. Jadi, kami jarang menabung dengan koin 100 Rupiah. Dua keping 100 Rupiah yang tergeletak begitu saja di meja bapak pun cuma dilirik saja. Bukan apa-apa, jika koin itu dimasukkan ke celengan, nanti bapak kami tidak bisa mencabut jenggotnya.



2 komentar: