Sejarah Pandai Sikek

Sampai saat ini, sejarah tertulis tentang nagari Pandai Sikek belum ada, kecuali yang berasal dari catatan-catatan tentara Belanda ketika menghadapi perlawanan Paderi di Minangkabau. 
Catatan mereka menjadi bahan bagi pengarang-pengarang buku sejarah nasional. Misalnya kita tahu bahwa Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikek, kembali dari Makkah bersama dua orang haji lainnya, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Mereka bertiga membawa angin pembaharuan dalam pengamalan ajaran Islam di Minangkabau dengan dasar paham Wahabi yang waktu itu sedang berkebang di Semenanjung Arabia. Ajaran yang dibawa para haji ini dirasakan sangat keras bagi masyarakat Minangkabau waktu itu dan menyebabkan konflik dengan penduduk dan para pemuka adat Minangkabau. Konflik ini kemudian ditunggangi oleh Belanda untuk menanamkan pengaruhnya di Minangkabau.
Bagian lain dari sejarah Pandai Sikek tentu sama dan sejalan dengan sejarah nasional pada umumnya dan sejarah Minangkabau secara luas.
Sebagaimana bagian lain dari Indonesia, kawasan Sumatra, Jawa dan pulau pulau besar lainnya hingga kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara, sudah dihuni oleh bangsa Melaya Muda yang disebut Deutro Malayu sejak kira-kira 2000-1000 tahun sebelum Masehi. Bangsa Melayu Muda ini datang dari kawasan Asia Tenggara dan membawa kebudayaan Dongson yang termasuk zaman Neolitikum. Untuk Pandai Sikek sendiri, dalam masa yang sudah beribu tahun itu, bisa saja ada berpenghuni, dan bisa saja pernah ditinggalkan penduduknya hingga menjadi hutan belantara, untuk kemudian “ditemukan” kembali dan diramaikan lagi. 
Jadi penduduknya bisa sudah berganti-ganti. Tetapi mengingat tempatnya yang subur dekat dengan gunun Merapi, dan karena kultur bercock tanam sudah dibawa sejak perpindahan nenek moyang orang Indonesia dari Asia Tenggara, kemungkina besar kawasan di sekeliling gunung Merapi, termasuk Pandai Sikek, sudah dihuni secara terus-menerus selama ribuan tahun.
Dalam masa yang sangat panjang itu, diapat diduga bahwa penghuni lereng-lereng gunung Merapi dan Singgalang sudah silih berganti: kemungkinan ada yang punah, ada yang bemigrasi ke daerah lain, atau didesak dan digantikan oleh kelompok berbeda yang datang dari tempat lain. Salah satu peristiwa perpindahan penduduk yang terbaru dan terekam dalam cerita orang tua-tua adalah kedatangan nenem moyang orang MInang yang sekarang ini, yaitu kedatangan Sultan Sri Maharaja Diraja di puncak gunung Merapi.
Peristiwa ini terekam dalam pantun:
Dari mana titik pelita
Dari telong nan batali,
Dari mana niniak kita
Dari puncak gunung barapi.
Dari peristiwa kedantangan rombongan yang kelihatannya sudah berbudaya tinggi inilah dimulainya tambo Minangkabau yang menceritakan perkembangan nagari-nagari di luhak nan tigo, dimulai dari nagari tuo Pariangan Padang Panjang, hingga ke rantau nan tujuah jurai, Pasaman, Indrapura, Kuantan, hingga ke Negeri Sembilan.


Pandai Sikek, dalam tambo ini, disebutkan didirikan atas perintah dari Tuan Gadang di Batipuah, yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang. Beliau merasa perlu melindungi kekuasaan Koto Piliang yang berpusat di Sungai Tarab dengan mendirikan kubu-kubu pertahanan di sebelah barat. Untuk itu beliau mengirim beberapa orang Datuk beserta anak kemenakan dan keluarganya ke wilayah di barat dan selatan gunung Merapi. 

Mereka mendirikan sepuluh nagari sebagai benteng sehingga terkenallah Batipuah Sapuluah Koto. Nagari-nagari itu adalah:
1. Gunuang
2. Paninjauan
3. Pandai Sikek
4. Koto Laweh
5. Jaho
6. Tambangan
7. Sumpu
8. Malalo
9. Pitalah
10. Bungo Tanjuang


Tentu saja dalam membuka daerah tersebut para penghulu dan kemenakannya lebih dahulu mendirikan taratak-taratak, kubu, dan kampung. Jika dalam perkembangannya beberapa kampung sudah cukup maju dan ramai, kampung-kampung itu diresmikan menjadi nagari dengen struktur pemerintahan suku yang sistematis.
Pandai Sikek dalam perkembangannya dapat menjadi suatu nagari yang beridiri sendiri setelah mempunyai bebrapa suku. Saat ini terdapat di Pandai Sikek suku Koto Sungai Guruah, suku Koto Tibalai, Koto Limo Paruik, Koto Gantiang, suku Guci, suku Pisang, suku Sikumbang, Panyalai dan Jambak. Anak nagari di Pandai Sikek disebut urang nan Tujuah Suku dan penghulu Pandai Sikek disebut Panghulu nan Anamp Puluah.

Zaman penjajahan Belanda

Prasarana

Pada zaman penjajahan Belanda banyak dibangun jalan-jalan, baik jalan raya maupun jalan desa atau kampung. Pemeliharaan jalan ini sangat baik sekali, sehingga diceritakan bahwa satu kerikil saja yang terlempar ke luar jalan, dikembalikan lagi oleh petugas. Pengawas jalan disebut kontrolir. Urang Pandai Sikek juga berperan besar membangun jalan-jalan di tempat lain. Terkenal nama Demang Palin yang berasal dari Pandai Sikek dan berjasa sekali mebangun jalan-jalan di tempat dia bertugas sebagai Demang di daerah Solok.

Sebelum kedatangan Belanda, jalan-jalan yang ada antar kampung dan di dalam kampung tidak sama dengan keadaan sekarang ini. Misalnya jalan utama di Baruah adalah dari Kapalo Koto belok kiri ke arah belakang Kampung Dalam, terus ke selatan dan keluar di Belakang Balai. Jalan dari Koto Baru ke Baruah belum ada, dan jalan utama dalam nagari adalah dari Pakan Kurai di Koto Tinggi, terus masuk kampung di Koto Tinggi, dan ke selatan menyusuri Batan Aia Baruah di sebelah Batu Nyariang. Juga ada jalan utama ke arah selatan menuju Singgalang, Sigadunduang, dan melalui lembah antara gunung Singgalang dan gunung Tandikek terus ke Mudiak Padang dan Pariaman. Sebelum Belanda membangun jalan raya dan jalan kereta api dari Padang ke Sawah Lunto dan ke Bukittinggi, barang-barang oerdagangan masuk ke Bukittinggi melalui jalur ini, Pariaman terus ke Tandikek, terus ke Siganduduang, Pandai Sikek, Pakan Kurai, terus ke Bukittinggi. Jadi Pandai Sikek pernah berada di salah satu jalur perdagangan yang ramai dan penting. Dengan adanya jalan kereta api dari Padang Panjang ke Bukittinggi, jalur ini pindah ke Koto Baru.

Ekonomi
Pada zaman Belanda penduduk Minangkabau termasuk Pandai Sikek diwajibkan menanam tanaman keras yang menguntungkan bagi perdagangan yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda. Di Pandai Sikek ditanama kopi. Anak nagari juga disuruh membuka lahan baru untuk penanaman kopi di daerah Ujuang Darek Kapalo Rantau, seperti Salodako dan Kayu Tanam. Mereka datang ke daerah itu menurut susunan suku dan Penghulu juga, dan tercatat dalam register pemerintah.

Setiap tahun para Penghulu dari tiap-tiap suku di Pandai Sikek dikumpulan di Balai, di Baruah, untuk cacah jiwa. Setiap penghulu melaporkan anak-kemenakannya yang sudah dewasa dan dapat dikenakan pajak jiwa yang disebut belesteng. Pajak ini besarnya satu rupiah Belanda dan harus lunas tiap tahun. Jika tidak lunas akan dicari dan dikejar oleh petugas sampai dapat. Banyak cerita tentang anak nagari yang terpaksa bekerja keras dua kali lipat mencarikan uang untuk melunasi hutang belestengya ini.
Pemerintah Belanda juga memajukan perdagangan dengan membuat pasar-pasar dan mengajurkan anak nagari untuk membawa hasil bumi ke pasar-pasar di Pandai Sikek, di Koto Baru dan Pasar Rabaa. Selain itu Pemerintah Belanda mengadakan pameran-pameran di Padang Panjang tempat anak nagari Pandai Sikek memamerkan hasil kerajinan tenun dan songket.

Adat dan Pemerintahan

Sebelum kedatangan Belanda, belum ada jabatan Wali Nagari atau dengan nama lain. Pemeritahan nagari dijalankan secara kolektif oleh para penghulu semua suku. Belanda kemudian membetuk jabatan penghulu kepala, dipanggul Angko Kapalo Nagari, yang diambil dari salah seorang Penghulu.
Belanda juga banyak campur tangan dalam mengatur susunan penghulu-penghulu di bagari. Pemerintah membuat berbagai peraturan yang membatasi pengangkatan penghulu. Akan tetapi para penghulu yang diangkat juga diberi SK pengangkatan oleh belanda, disebut besluit dan diberi gaji.
Para penghulu juga diberi wewenang yang lebih besar dalam mengatur anak kemenakannya. Penghulu dapat menyidangkan perkara-perkara pidana dan perdata yang terjadi di antara kemenakannya dan jika sudah dapat diputus, tidak perlu dibawa lagi kepada polisi dan pengadilan negri.
Beberapa orang Pandai Sikek yang pernah menduduki jabatan Lareh pada zaman Belanda ialah
         Lareh Dt.Rajobasa, suku Kotolimoparuik, Pagupagu
         Lareh Dt. Rajokatik, suku Pisang, Baruah
         Lareh Dt. Tunaro nan Bagojong, suku Kotosungaiguruah, Tanjuang, Lareh nan terakhir sampai tahun 1890.

Adapun penghulu yang meduduki jabatan Angku Palo atau Wali Nagari zaman Belanda ialah
         1890-1900, Angku Akie Dt. Rajo Mangkuto, suku Pisang, Tanjuang, Peralihan dari Lareh yang meliputi wilayah anam koto, kepada jabatan angkupalo yang meliputi Pandaisikek saja.
1900-1910, Dt. Panjang, dikenal sebagai Angkupalo Kusuik, suku Kotogantiang asal Tanjuang.
         1910 – 1938, Angkupalo Gaek Dt.Marajo, suku Kotolimoparuik, Kototinggi. Pada masa kepemimpinannya diresmikan Pakan Akaik di Baruah
         1938 – 1944 Angkupalo Jambek Dt.Srimarajodirajo, suku Sikumbang, Kototinggi, anak dari Angkupalo Gaek di atas

Pendidikan dan Agama

Pada zaman Belanda, rakyat diberi kebebasan yang cukup untuk menjalankan agama. Masyarakat mendirikan surau-surau tempat shalat dan sebagai sarana pendidikan adat dan agama. Juga didirikan sebuah mesjid di Surau Gadang dekat lokasi kantor Perindustrian sekarang dibawah Sawah Janggi. Mereka yang mampu dapat melanjutkan pendidikan agama di tempat lain seperti di surau-surau yang terkenal di Parabek dan Canduang. Banyak juga urang pandai sikek yang mampu menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Diantaranya, Haji Muhammand Hasan dari Koto Tibalai, Haji Abdul Rahman dari Koto Sungai Guruah, dan Haji Yunus, ayahanda dari Rahmah El-Yunusiyyah yang mendirikan Sekolah Diniyyah di Padang Panjang.

Ada juga anak nagari Pandai Sikek yang mendapat pendidikan umum pada zaman Belanda sampai menjadi dokter seperti Dokter Wahab dari Pagu-Pagu. Yang lainnya ada yang sampai menuduki jabatan-jabatan yang penting seperti sep (kepala) stasiun dan menjadi kepala pelabuhan Teluk Bayur.

Perlawanan terhadap penjajahan Belanda

Rakyat Pandai Sikek juga pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap Penjajahan Belanda. Sesudah beberapa tahun perang Padri, para pemuka Nagari Pandai Sikek baik yang berasal dari kalangan ulama maupun dari kalangan pemuka adat, bergabung dengan pasukan Paderi melawan belanda yang waktu itu membuat benteng di Guguak Sigandang. Pada tahun 1824 Belanda mengumpulkan para pemuka nagari dari Pandai Sikek, Koto Laweh dan Singgalang selama beberapa hari di benteng itu untuk kemudian dibunuh dan mayatnya dilempar ke jurang di sebelah barat bukit itu. Sanak saudara korban disuruh mengambil sendiri mayat-mayat para pejuang tersebut. Dari Pandai Sikek tercatat nama Datuak Putiah salah satu pejuang yang tewas terbunuh di benteng itu.

Pada penghujung masa penjajahan Belanda, tersebutlah Datuk Batuah, seorang penghulu yang juga guru agama beraliran sufi dari Pagu-pagu, memimpin perjuagan melawan peraturan belesteng yang dikenakan Belanda pada anak nagari. Pada suatu subuh, Datuk ini memimpin suatu rombongan menyusur kaki gunung Singgalang dan bukit Barisan, menuju Padang Panjang dan menyerang Tangsi Belanda di situ. Terjadi pertempuran yang hebat dan banyak tentara Belanda terbunuh di tempat itu.

Zaman pendudukan Jepang

Pada zaman pendudukan Jepang, rakyat Pandai Sikek ikut merasakan penderitaan yang hebat karena politik Jepang yang mebuang beras ke laut dan menyita semua kain dan bahan pakaian lainnya. Banyak orang terpakasa berbaju guni. Kebersihan menjadi tidak terpelihara dan banyak orang yang mati kelaparan.

Satu hal yang menarik adalah bahwa sebagian keluarga yang menyimpan kain tenun pusaka, memotong bagian yang tidak ada benang masnya, untuk dijadikan pakaian.
Selain itu, ada juga beberapa pemuda Pandai Sikek yang mengikuti pendidikan militer, disebut Heiho, disiapkan Jepang untuk menghadapai perang Asia Timur Raya.

Zaman Revolusi 1945-1950

Pada zaman revolusi, ketika kemerdekaan Republik Indonesia baru diproklamirkan, dan Belanda ingin kembali menjajah Indonesia, nagari Pandaisikek yang terletak di kaki gunung Singgalang yang berhutan lebat menjadi salah satu tempat pertahanan tentara pejuang republik. Banyak tentara dari tempat lain melakukan perjalanan melintasi hutan-hutan di sebelah barat. Dalam pengejarannya tentara Belanda seringkali mengumpulkan warga di tempat terbuka, di Balai Baruah misalnya dan meminta mereka menunjukkan tempat dimana para “laki-laki” bersembunyi. Mungkin maksud mereka, semua laki-laki dewasa dianggap tentara pejuang.

Penduduk menjadi ketakutan dan merasa diteror. Banyak cerita tentang orang-orang yang kedapatan berusaha menghindar dan ditembak oleh tentara Belanda. Selain itu, tentara Belanda juga menggeledah rumah-rumah penduduk.

Puncak kekerasan tentara Belanda ialah ketika mereka membakar rumah-rumah penduduk di Tanjung dan Pagu-pagu. Terjadi kebakaran besar yang sangat mengerikan. Kebanyakan rumah yang terbakar itu adalah rumah adat bagonjongyang besar-besar, yang tidak sanggup lagi dibangun sampai sekarang. Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat, 6 Mei 1949.

Zaman PRRI tahun 1958-1959

Pada zaman PRRI, yang oleh masyarakat sering disebut “zaman bagolak”, hal yang sama terulang kembali: hutan-hutan di kaki gunung Singgalang, di sebelah barat nagari Pandai Sikek, menjadi tempat pelarian, persembunyian dan perlintasan para tentara yang tergabung dalam PRRI.
Warga Pandai Sikek sebagian mendukung perjuangan PRRI dan sebagian mendukung TNI. Keadaan ini membuat masyarakat agak terbelah dan memicu konflik yang tersembunyi. Keadaaan ini berlanjut hingga terjadinya peristiwa G30S/PKI.

Gerakan 30 September 1965

Masyarakat Pandai Sikek termasuk aktif berpolitik. Sebagian menjadi pendukung partai-partai yang besar yang di pusat memang saling berseberangan. Partai yang terbesar adalah partai Masyumi dan PKI. Sesudah peristiwa G30S meletus di Jakarta, Pemerintah menyatakan PKI sebagai partai terlarang dan pendukung serta simpatisan PKI ditangkap. Termasuk di Pandai Sikek dan nagari-nagari di sekitarnya. Di banyak tempat terjadi pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang yang diduga menjadi pentolan PKI. Akan tetapi hanya satu pembunuhan terjadi di Pandai Sikek terhadap seseorang bernama Usman yang berasal dari nagari lain.


0 comments:

Posting Komentar