Penulis : Mohammad Amin Rais
Terbit : Mei 2008 ( Cetakan III )
Judul Asli : Agenda - Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!
Bahasa : Indonesia
Review : Kecenderungan manusia untuk mengulang sejarah yang buruk adalah penyakit yang susah ditemukan obatnya. Seperti ditulis George Bernard Shaw (1856-1950), “Sekalipun sejarah selalu berulang, manusia (Indonesia) sangat sulit untuk tidak mengulangi sejarah yang buruk.” Akibatnya, meminjam Goerge Santayana (1863-1952), manusia akan terus mengulangi pengalaman sejarah yang buruk itu. Kata-kata bijak dua filsuf tersebut dapat kita jadikan batu pijakan untuk mengaudit Indonesia dewasa ini. Betapa tidak, Indonesia kini menjadi negara yang tidak mampu menahan derasnya arus-arus kapitalisme dan neoimperialisme yang dikemas melalui isu-isu globalisasi. Kompeni-kompeni baru reinkarnasi VOC telah muncul dengan bentuk yang lebih modern. Korporasi internasional ditopang oleh tiga lembaga raksasa, yakni IMF, World Bank, dan WTO. Ketiga lembaga tersebut merupakan penopang mimpi Amerika untuk mewujudkan misi Pax Americana. Mimpi Pax Americana tak jauh berbeda dari misi kolonialisme (kapitalisme), yaitu akumulasi modal sebesar-besarnya dan penguasaan atas SDA/SDM di negara jajahan.
Melalui ketiga lembaga di atas, mereka membuat kontrak ekonomi (politik) yang membuat negara-negara dengan SDA yang melimpah, seperti Indonesia, tunduk di bawah kekuatan korporasi yang didukung kekuatan politik, ekonomi, dan militer Internasional. Fenomena mencemaskan ini dikritik oleh tokoh-tokoh penentang globalisasi seperti Stiglitz, seorang pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001. Ia memandang bahwa globalisasi yang dijalankan tidak boleh menghempaskan keadilan sosial. Hal ini karena, mengguritanya korporasi global yang didukung oleh para eco-politik hit man lokal hanya menghasilkan kemiskinan dan pengangguran.
Jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75%. Sedangkan pengangguran masih membuncah sejumlah 12,6 juta jiwa. Dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 2007 lalu, Stiglitz memberikan ”warning” agar pemerintah Indonesia segera melakukan renegosiasi atas perjanjian kontrak pertambangan yang telah ditandatangani. Sebab, kontrak karya yang ditandatangani, misalnya dengan Freeport, terbukti sangat merugikan negara baik di bidang ekonomi, sosial, adat dan lingkungan hidup. Untuk itu, renegosiasi kontrak karya sangat mendesak untuk dilakukan agar rakyat tidak semakin disengsarakan, dan pemerintah tidak tunduk pada korporatokrasi yang menjadikan para pemimpin Indonesia bermental inlander.
*****
Indonesia menjadi miskin dan sengsara karena, lagi-lagi, melupakan sejarah. Para pemimpin melupakan semangat kemandirian dan rasa percaya diri yang diajarkan Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, H. Agus Salim, Syahrir, dan para funding father-mother bangsa ini. Sungguh pemandangan yang menggelikan ketika para elite pemimpin bangsa ini merasa panas dingin karena Presiden Bush akan mampir ke Indonesia pada akhir 2006 lalu. Pengamanan miliaran rupiah yang diberikan kepada Bush sungguh berlebihan dan sekaligus memalukan. Tidak ada negara manapun yang menyambut Bush seperti raja, kecuali Indonesia pada kepemimpinan SBY-JK. Seolah Indonesia telah menjadi vazal atau negara protektorat AS (halaman 9).
Para pemimpin melupakan kemandirian dan kepercayaan diri karena lebih senang berperan sebagai Amangkurat II yang inlander. Menurut Amien Rais, seperti Amangkurat II, salah satu ciri bangsa inlander adalah ia dihinggapi suatu perasaan nikmat dalam ketergantungan dan tunduk kepada perintah sang tuan. Akibatnya, sampai sekarang kita masih dihinggapi penyakit debt-addict, kecanduan utang. Setiap kali mendapat utang baru dari IGGI (Inter-Govermental Group on Indonesia), para pemimpin kita merasa bangga, ”Kita bersyukur dan bangga sebagai bangsa Indonesia, karena kita masih dipercaya oleh IGGI untuk mengambil utang baru,” katanya. Alhasil, Indonesia menjadi terjebak dalam jeratan utang luar negeri yang makin membesar.
Seperti ditulis John Perkins, bangsa yang tertindih utang besar, mau tidak mau pasti kehilangan bukan saja kemandirian ekonomi, tetapi juga kemandirian politik yang menjadikan bangsa itu tersandera selama hidupnya. Mentalitas inlander juga nampak jelas dalam pengelolaan kekayaan alam, baik migas maupun nonmigas. Freeport di Papua, sejak 1967 menambang emas, perak, dan tembaga di provinsi Indonesia paling timur yang kaya raya dengan sumber daya alam itu. Kontrak Karya I diperbarui pada 1991 untuk masa setengah abad, sehingga Kontrak Karya II baru berakhir pada 2041. Indonesia benar-benar akan hancur apabila tidak diselamatkan.
*****
Buku ini berulang kali mengingatkan penguasa kita akan bahaya korporasi Amerika yang selalu berkaitan erat dengan beberapa kejahatan sekaligus (halaman 161-163). Pertama, kejahatan lingkungan. Buangan limbah (tailings) yang berjumlah 300 ribu ton per hari telah merusak sistem sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa dan beserta ekosistemnya. Kedua, Freeport juga melakukan kejahatan perpajakan alias tidak membayar pajak. Ketiga, kejahatan etika dan moral. Freeport memberi uang sogokan kepada oknum-oknum polisi dan militer dengan dalih administrative costs, security cost, dan lain-lain. Keempat, kejahatan kemanusiaan. Tujuh suku Papua yang punya hak ulayat digusur dari tanah warisan turun-temurun dan di antara mereka meninggal karena peluru satgas Freeport. Kelima, kejahatan menguras kekayaan Indonesia lewat manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan misterius dan rahasia.
Tetapi, pikiran jernih hanya dapat dilakukan oleh bangsa dengan pemimpin yang bermental merdeka, berdaulat dan mandiri. Bagi Amien Rais, bangsa yang belum sembuh dari kolonisasi mental dan lebih nyaman menghamba pada korporatokrasi internasional, tentu memilih yang mudah (halaman 56). Kita sudah merdeka hampir 63 tahun dengan barisan intelektual, geolog, teknisi, dan profesional yang menguasai managerial know how buat pertambangan modern, tapi mereka dipinggirkan dan dilupakan. Pemerintah kita ternyata tidak punya nyali berhadapan dengan administrasi Bush yang ekspansif, agresif dan eksploitatif. Selain itu, masih banyak lagi masalah lain yang tidak kunjung diselesaikan pemerintah, di antaranya yaitu asingisasi penerbangan, perkebunan, perbankan, pertelekomunikasian, pelayaran dan semua proses yang menyebabkan Indonesia menjadi negara komprador, negara pelayan kepentingan asing. Belum lagi soal pencurian pasir oleh Singapura serta sikap Malaysia yang suka meremehkan.
Buku ini juga mencatat sepuluh hal penting yang memprihatinkan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan SBY-JK. Sepuluh hal tersebut mengindikasikan broken goverment pada tubuh pemerintahan saat ini. Oleh karena itu, penulis memberikan gagasan untuk menyelamatkan bangsa dari kondisi yang semakin terpuruk. Pertama, secepatnya perlu ada pemimpin alternatif yang bebas dan independen, berwawasan nasional dan internasional, serta diisi oleh kaum muda. Atau dengan kata lain, ”Saatnya Kaum Muda Memimpin Indonesia.” Kedua, pemerintah sudah seharusnya berani bertindak untuk melepaskan diri dari kekuatan korporasi asing dan membangun hubungan dengan negara-negara lainnya sebagai partner, bukan sebagai budak. Hanya dengan cara itulah, Indonesia Raya tercinta dapat diselamatkan. Indonesia Bisa ! (kabarindonesia.com)
ziddu
Terbit : Mei 2008 ( Cetakan III )
Judul Asli : Agenda - Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!
Bahasa : Indonesia
Review : Kecenderungan manusia untuk mengulang sejarah yang buruk adalah penyakit yang susah ditemukan obatnya. Seperti ditulis George Bernard Shaw (1856-1950), “Sekalipun sejarah selalu berulang, manusia (Indonesia) sangat sulit untuk tidak mengulangi sejarah yang buruk.” Akibatnya, meminjam Goerge Santayana (1863-1952), manusia akan terus mengulangi pengalaman sejarah yang buruk itu. Kata-kata bijak dua filsuf tersebut dapat kita jadikan batu pijakan untuk mengaudit Indonesia dewasa ini. Betapa tidak, Indonesia kini menjadi negara yang tidak mampu menahan derasnya arus-arus kapitalisme dan neoimperialisme yang dikemas melalui isu-isu globalisasi. Kompeni-kompeni baru reinkarnasi VOC telah muncul dengan bentuk yang lebih modern. Korporasi internasional ditopang oleh tiga lembaga raksasa, yakni IMF, World Bank, dan WTO. Ketiga lembaga tersebut merupakan penopang mimpi Amerika untuk mewujudkan misi Pax Americana. Mimpi Pax Americana tak jauh berbeda dari misi kolonialisme (kapitalisme), yaitu akumulasi modal sebesar-besarnya dan penguasaan atas SDA/SDM di negara jajahan.
Melalui ketiga lembaga di atas, mereka membuat kontrak ekonomi (politik) yang membuat negara-negara dengan SDA yang melimpah, seperti Indonesia, tunduk di bawah kekuatan korporasi yang didukung kekuatan politik, ekonomi, dan militer Internasional. Fenomena mencemaskan ini dikritik oleh tokoh-tokoh penentang globalisasi seperti Stiglitz, seorang pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001. Ia memandang bahwa globalisasi yang dijalankan tidak boleh menghempaskan keadilan sosial. Hal ini karena, mengguritanya korporasi global yang didukung oleh para eco-politik hit man lokal hanya menghasilkan kemiskinan dan pengangguran.
Jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75%. Sedangkan pengangguran masih membuncah sejumlah 12,6 juta jiwa. Dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 2007 lalu, Stiglitz memberikan ”warning” agar pemerintah Indonesia segera melakukan renegosiasi atas perjanjian kontrak pertambangan yang telah ditandatangani. Sebab, kontrak karya yang ditandatangani, misalnya dengan Freeport, terbukti sangat merugikan negara baik di bidang ekonomi, sosial, adat dan lingkungan hidup. Untuk itu, renegosiasi kontrak karya sangat mendesak untuk dilakukan agar rakyat tidak semakin disengsarakan, dan pemerintah tidak tunduk pada korporatokrasi yang menjadikan para pemimpin Indonesia bermental inlander.
*****
Indonesia menjadi miskin dan sengsara karena, lagi-lagi, melupakan sejarah. Para pemimpin melupakan semangat kemandirian dan rasa percaya diri yang diajarkan Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, H. Agus Salim, Syahrir, dan para funding father-mother bangsa ini. Sungguh pemandangan yang menggelikan ketika para elite pemimpin bangsa ini merasa panas dingin karena Presiden Bush akan mampir ke Indonesia pada akhir 2006 lalu. Pengamanan miliaran rupiah yang diberikan kepada Bush sungguh berlebihan dan sekaligus memalukan. Tidak ada negara manapun yang menyambut Bush seperti raja, kecuali Indonesia pada kepemimpinan SBY-JK. Seolah Indonesia telah menjadi vazal atau negara protektorat AS (halaman 9).
Para pemimpin melupakan kemandirian dan kepercayaan diri karena lebih senang berperan sebagai Amangkurat II yang inlander. Menurut Amien Rais, seperti Amangkurat II, salah satu ciri bangsa inlander adalah ia dihinggapi suatu perasaan nikmat dalam ketergantungan dan tunduk kepada perintah sang tuan. Akibatnya, sampai sekarang kita masih dihinggapi penyakit debt-addict, kecanduan utang. Setiap kali mendapat utang baru dari IGGI (Inter-Govermental Group on Indonesia), para pemimpin kita merasa bangga, ”Kita bersyukur dan bangga sebagai bangsa Indonesia, karena kita masih dipercaya oleh IGGI untuk mengambil utang baru,” katanya. Alhasil, Indonesia menjadi terjebak dalam jeratan utang luar negeri yang makin membesar.
Seperti ditulis John Perkins, bangsa yang tertindih utang besar, mau tidak mau pasti kehilangan bukan saja kemandirian ekonomi, tetapi juga kemandirian politik yang menjadikan bangsa itu tersandera selama hidupnya. Mentalitas inlander juga nampak jelas dalam pengelolaan kekayaan alam, baik migas maupun nonmigas. Freeport di Papua, sejak 1967 menambang emas, perak, dan tembaga di provinsi Indonesia paling timur yang kaya raya dengan sumber daya alam itu. Kontrak Karya I diperbarui pada 1991 untuk masa setengah abad, sehingga Kontrak Karya II baru berakhir pada 2041. Indonesia benar-benar akan hancur apabila tidak diselamatkan.
*****
Buku ini berulang kali mengingatkan penguasa kita akan bahaya korporasi Amerika yang selalu berkaitan erat dengan beberapa kejahatan sekaligus (halaman 161-163). Pertama, kejahatan lingkungan. Buangan limbah (tailings) yang berjumlah 300 ribu ton per hari telah merusak sistem sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa dan beserta ekosistemnya. Kedua, Freeport juga melakukan kejahatan perpajakan alias tidak membayar pajak. Ketiga, kejahatan etika dan moral. Freeport memberi uang sogokan kepada oknum-oknum polisi dan militer dengan dalih administrative costs, security cost, dan lain-lain. Keempat, kejahatan kemanusiaan. Tujuh suku Papua yang punya hak ulayat digusur dari tanah warisan turun-temurun dan di antara mereka meninggal karena peluru satgas Freeport. Kelima, kejahatan menguras kekayaan Indonesia lewat manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan misterius dan rahasia.
Tetapi, pikiran jernih hanya dapat dilakukan oleh bangsa dengan pemimpin yang bermental merdeka, berdaulat dan mandiri. Bagi Amien Rais, bangsa yang belum sembuh dari kolonisasi mental dan lebih nyaman menghamba pada korporatokrasi internasional, tentu memilih yang mudah (halaman 56). Kita sudah merdeka hampir 63 tahun dengan barisan intelektual, geolog, teknisi, dan profesional yang menguasai managerial know how buat pertambangan modern, tapi mereka dipinggirkan dan dilupakan. Pemerintah kita ternyata tidak punya nyali berhadapan dengan administrasi Bush yang ekspansif, agresif dan eksploitatif. Selain itu, masih banyak lagi masalah lain yang tidak kunjung diselesaikan pemerintah, di antaranya yaitu asingisasi penerbangan, perkebunan, perbankan, pertelekomunikasian, pelayaran dan semua proses yang menyebabkan Indonesia menjadi negara komprador, negara pelayan kepentingan asing. Belum lagi soal pencurian pasir oleh Singapura serta sikap Malaysia yang suka meremehkan.
Buku ini juga mencatat sepuluh hal penting yang memprihatinkan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan SBY-JK. Sepuluh hal tersebut mengindikasikan broken goverment pada tubuh pemerintahan saat ini. Oleh karena itu, penulis memberikan gagasan untuk menyelamatkan bangsa dari kondisi yang semakin terpuruk. Pertama, secepatnya perlu ada pemimpin alternatif yang bebas dan independen, berwawasan nasional dan internasional, serta diisi oleh kaum muda. Atau dengan kata lain, ”Saatnya Kaum Muda Memimpin Indonesia.” Kedua, pemerintah sudah seharusnya berani bertindak untuk melepaskan diri dari kekuatan korporasi asing dan membangun hubungan dengan negara-negara lainnya sebagai partner, bukan sebagai budak. Hanya dengan cara itulah, Indonesia Raya tercinta dapat diselamatkan. Indonesia Bisa ! (kabarindonesia.com)
ziddu