Imam An-Nawawi dalam Riyadhus-Shalihin (hal. 616). menukil sebuah riwayat
dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw berpesan kepada para sahabatnya: “Tsalaatsatun laa yukallimuhumullahu
yaumal qiyamah wa laa yuzakkihim wa laa yandzuru ilaihim wa lahum ‘azabun
aliim”. (Ada tiga golongan manusia pada Hari Kiamat tidak disapa, tidak
disucikan, tidak ditatap dan akan ditimpakan azam pedih). (HR.
Muslim).
Pertama ; Syaikhun zaanin (orang tua yang berzina). Allah benci kepada siapa pun yang berzina, tapi lebih benci kepada orang tua bangka yang berzina.
Kenapa? Karena seorang yang sudah lanjut usia mestinya menjadi sumber kearifan, melindungi dan panutan masyarakatnya. Menjaga keharmonisan sosial dan keluarga serta semakin taqarrub ilallah.
Sama halnya dengan seorang tua yang menikah (poligami) lebih dari empat wanita atau menikahi dua orang bersaudara dalam waktu bersamaan. Allah melarang mendekati atau memfasilitasi perzinahan apalagi melakukannya, baik tersembunyi maupun terang-terangan. (QS. 17:32, 24:2).
Kedua ; Malikun kadzdzaabun (penguasa yang berdusta). Allah SWT beci kepada siapa pun yang berdusta (baik kata maupun laku), tapi lebih benci lagi kepada penguasa pendusta. Kenapa? Karena ia akan merugikan orang banyak (rakyat).
Ia mengambil hak mereka (zhalim) dan membuat kebijakan yang merugikan, khianat dalam kepemimpinannya. Ia memperkaya diri dan keluarganya, sementara rakyat mengalami kelaparan dan kebodohan.
Kalau orang biasa yang dusta, dampaknya hanya untuk diri dan keluarganya. Allah tidak suka kepada dusta (kemunafikan). (QS. 39:32,29:3,16:116).
Ketiga ; ‘Aailun mustakbirun (orang miskin yang sombong). Allah benci kepada orang kaya yang sombong, tapi lebih benci lagi kepada orang miskin yang sombong. Kenapa? Karena tidak ada yang patut disombongkan.
Jika orang kaya sombong, masih bisa dimengerti. Meskipun, hakekatnya ia juga miskin, karena yang didapatkan bukan miliknya, tapi milik Allah.
Orang yang miskin harta, ilmu, kontribusi, ibadah dan lain-lain, namun sombong, itu namanya terlalu. Hanya Allah yang patut sombong (al-mutakabbir) dan Ia tidak suka kepada orang sombong lagi bangga diri. (QS. 4:36,31:18, 57:23, 29:39,17:37).
Nabi saw pernah berkisah, kelak di Hari Pembalasan akan datang orang yang mengalami kebangkrutan pahala (muflis), karena seluruh pahala ritualnya terkuras untuk membayar dosa sosialnya.
Bahkan, jika pahala ritualnya habis, sementara dosa sosialnya masih ada, maka dosa-dosa dari orang yang diperlakukannya buruk, akan ditimpakan kepadanya hingga ia masuk ke dalam neraka. (HR. Muslim).
Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual dengan tiga alasan: Pertama, ciri-ciri orang beriman atau bertakwa lebih banyak ibadah sosialnya. (QS. 23:1-11).
Kedua, jika ibadah ritual bersamaan dengan ibadah sosial, maka didorong untuk mendahulukan yang sosial. Misalnya, Nabi saw pernah melarang seorang imam membaca surat panjang dalam shalat berjamaah (HR. an-Nasa’i).
Nabi saw juga pernah memperpanjang sujudnya karena cucunya bermain dipundaknya. (HR. Jamaah). Ketiga, kalau ibadah ritual cacat, dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial.
Misalnya melanggar larangan puasa harus ditebus dengan memberi makan fakir miskin. Sebaliknya, jika ibadah sosial yang rusak, tidak bisa diganti dengan ibadah ritual.
Misalnya, durhaka kepada orang tua dan dzalim kepada tetangga tidak bisa diganti dengan puasa, zikir atau membaca al-Qur’an.
Ketiga golongan manusia yang tidak disapa Allah SWT tersebut di atas, adalah orang-orang yang melakukan dosa sosial, bukan dosa individual.
Perbuatan buruk mereka telah merugikan dan menghinakan orang lain, baik secara moril, material maupun masa depan.
Pertama ; Syaikhun zaanin (orang tua yang berzina). Allah benci kepada siapa pun yang berzina, tapi lebih benci kepada orang tua bangka yang berzina.
Kenapa? Karena seorang yang sudah lanjut usia mestinya menjadi sumber kearifan, melindungi dan panutan masyarakatnya. Menjaga keharmonisan sosial dan keluarga serta semakin taqarrub ilallah.
Sama halnya dengan seorang tua yang menikah (poligami) lebih dari empat wanita atau menikahi dua orang bersaudara dalam waktu bersamaan. Allah melarang mendekati atau memfasilitasi perzinahan apalagi melakukannya, baik tersembunyi maupun terang-terangan. (QS. 17:32, 24:2).
Kedua ; Malikun kadzdzaabun (penguasa yang berdusta). Allah SWT beci kepada siapa pun yang berdusta (baik kata maupun laku), tapi lebih benci lagi kepada penguasa pendusta. Kenapa? Karena ia akan merugikan orang banyak (rakyat).
Ia mengambil hak mereka (zhalim) dan membuat kebijakan yang merugikan, khianat dalam kepemimpinannya. Ia memperkaya diri dan keluarganya, sementara rakyat mengalami kelaparan dan kebodohan.
Kalau orang biasa yang dusta, dampaknya hanya untuk diri dan keluarganya. Allah tidak suka kepada dusta (kemunafikan). (QS. 39:32,29:3,16:116).
Ketiga ; ‘Aailun mustakbirun (orang miskin yang sombong). Allah benci kepada orang kaya yang sombong, tapi lebih benci lagi kepada orang miskin yang sombong. Kenapa? Karena tidak ada yang patut disombongkan.
Jika orang kaya sombong, masih bisa dimengerti. Meskipun, hakekatnya ia juga miskin, karena yang didapatkan bukan miliknya, tapi milik Allah.
Orang yang miskin harta, ilmu, kontribusi, ibadah dan lain-lain, namun sombong, itu namanya terlalu. Hanya Allah yang patut sombong (al-mutakabbir) dan Ia tidak suka kepada orang sombong lagi bangga diri. (QS. 4:36,31:18, 57:23, 29:39,17:37).
Nabi saw pernah berkisah, kelak di Hari Pembalasan akan datang orang yang mengalami kebangkrutan pahala (muflis), karena seluruh pahala ritualnya terkuras untuk membayar dosa sosialnya.
Bahkan, jika pahala ritualnya habis, sementara dosa sosialnya masih ada, maka dosa-dosa dari orang yang diperlakukannya buruk, akan ditimpakan kepadanya hingga ia masuk ke dalam neraka. (HR. Muslim).
Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual dengan tiga alasan: Pertama, ciri-ciri orang beriman atau bertakwa lebih banyak ibadah sosialnya. (QS. 23:1-11).
Kedua, jika ibadah ritual bersamaan dengan ibadah sosial, maka didorong untuk mendahulukan yang sosial. Misalnya, Nabi saw pernah melarang seorang imam membaca surat panjang dalam shalat berjamaah (HR. an-Nasa’i).
Nabi saw juga pernah memperpanjang sujudnya karena cucunya bermain dipundaknya. (HR. Jamaah). Ketiga, kalau ibadah ritual cacat, dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial.
Misalnya melanggar larangan puasa harus ditebus dengan memberi makan fakir miskin. Sebaliknya, jika ibadah sosial yang rusak, tidak bisa diganti dengan ibadah ritual.
Misalnya, durhaka kepada orang tua dan dzalim kepada tetangga tidak bisa diganti dengan puasa, zikir atau membaca al-Qur’an.
Ketiga golongan manusia yang tidak disapa Allah SWT tersebut di atas, adalah orang-orang yang melakukan dosa sosial, bukan dosa individual.
Perbuatan buruk mereka telah merugikan dan menghinakan orang lain, baik secara moril, material maupun masa depan.
Jika
dosa individual, ampunannya hanya berkaitan dengan Sang Khalik. Tapi, dosa
sosial tidak terampuni jika orang-orang yang telah dianiaya (al-madzlum) belum
memaafkan.
Oleh karena itu, patutlah jika Allah tak berkenan menegur sapa, menyucikan, menatap bahkan mengazab di Hari Pembalasan. Naudzubillahi mindzalik. Allahu a’lam bish-shawab.
Oleh karena itu, patutlah jika Allah tak berkenan menegur sapa, menyucikan, menatap bahkan mengazab di Hari Pembalasan. Naudzubillahi mindzalik. Allahu a’lam bish-shawab.