A. Muqaddimah
Dalam panggung sejarah, Islam sudah lama dikenal oleh
penduduk Melayu. Bahkan menurut Ustadz ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim bin
Amrullah rahimahullah atau yang lebih dikenal dengan Hamka, Islam sudah
melebarkan sayapnya di bumi Melayu sejak abad pertama hijriah. Namun sayang,
meski Islam sudah sekian abad di Melayu, ajaran-ajaran yang diamalkan kaum
muslimin di sana banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa
Rasulullah. Ajaran-ajaran tasawwuf ala shufi dan keyakinan-keyakinan bid’ah dan
sesat seperti takhayul, khurafat sampai ajaran martabat tujuh atau wihdatul
wujud banyak mewarnai amalan-amalan kaum muslimin di bumi Melayu.
Seiring bergulingnya waktu, kaum muslimin di Melayu mulai
sadar akan kekeliruan ajaran yang selama ini mereka anggap bagian dari Islam
justru bertentangan. Maka usaha-usaha dalam memurnikan ajaran Islam di Melayu
pun segera dimulai. ‘Episode’ pertama diawali oleh tiga jama’ah haji yang
membawa oleh-oleh dari Tanah Suci berupa ‘filter’ ajaran sesat di ranah
Minangkabau. Kemudian ‘episode’ berikutnya ditunjukkan oleh Syaikh Ahmad Al
Khathib rahimahullah, seorang ulama yang muqim di Makkah yang terkenal dengan
kegigihannya dalam menyerang kelompok-kelompok ahlul bida’ wal ahwa’ dan adat-adat
yang bertentangan dengan syariat Islam baik melalui tulisan-tulisan maupun
murid-muridnya yang kembali ke Melayu.
B. Nasab & Kelahiran Syaikh Ahmad Al Khathib
Beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin
‘Abdul Lathif [bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al
Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari
rahimahullah.
Syaikh Ahmad Al Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota
Gadang, Kec. Ampek Angkek Angkat Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada
hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah
keluarga bangsawan. ‘Abdullah, kakek Syaikh Ahmad atau buyut menurut riwayat
lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah
ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khathib Nagari melekat
dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Ada perbedaan mengenai siapa kakek Syaikh Ahmad. Menurut
‘Umar ‘Abdul Jabbar, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Mu’allimi, dan Ibrahim bin
‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdullah. Sedangkan menurut
Dadang A. Dahlan, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdurrahman yang bergelar Datuk
Rangkayo Basa. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas Syaikh Ahmad berasal
dari keluarga bangsawan, baik dari jalur ayah maupun ibu.
C. Perjalanan Syaikh Ahmad dalam Thalabul ‘Ilmi
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat
mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah
Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola
Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari
Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al
Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul
Lathif, ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian
ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara
Ahmad tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan
menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah terutama yang mengajar di Masjid Al
Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikh Ahmad di Makkah adalah:
1. Sayyid
‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
2. Sayyid
‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
3. Sayyid
Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I
(1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut
Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikh Ahmad, yaitu:
4. Sayyid
Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’I di Makkah-
5. Yahya Al
Qalyubi
6. Muhammad
Shalih Al Kurdi
Mengenai bagaimana semangat Syaikh Ahmad dalam thalabul
‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan
penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar
‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Beliau adalah
santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu
serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena
semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic
(ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian
waris, ilmu miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu
itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari
ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk
membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
D. Syaikh Ahmad Menikah dan Menjadi Seorang Ayah
Di antara kebiasaan Syaikh Ahmad di Makkah adalah
menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang
terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan
atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena
seringnya Syaikh Ahmad mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih
Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan,
ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta
keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad
dibuktikan dengan dijadikannya Syaikh Ahmad sebagai menantu. Ya. Setelah banyak
mengetahui tentang prihal dan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia itu, Shalih
Al Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam
Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikh Ahmad sempat ragu menerima
tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah
mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat
besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji
menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga
Syaikh Ahmad. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikh Ahmad yang
mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan Syaikh Ahmad sebagai menantu Shalih Al
Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda
telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa
‘Arab kecuai setelah belajar di Makkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih
dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa
sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya
telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikh Ahmad
dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikh Ahmad dengan Khadijah tidak
berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan
purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah
adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al
Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi
orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:
1. ‘Abdul
Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al
Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan
politik.
2. ‘Abdul
Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah
menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan.
Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah
nazham (sya’ir) berjudulSirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Al Imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Kesuksesan Syaikh Ahmad dalam mendidik anak-anaknya sehingga
menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu
berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam
yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung
penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikh Ahmad menanamkan
‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari
ayahku, beliau akan berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu
(apa yang kamu minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’
‘Dia berada di langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu
tidak melihat-Nya.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan
membawa apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa
yang tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak
aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku
telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’
Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri
yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu,
atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka
bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua
permintaanmu.’ Aku pun segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku
pun dapat terwujud.”
Lihatlah, bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikh
Ahmad kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman
‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit
namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak.
Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung
dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang
akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada
kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil
sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada
keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika
kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikh Ahmad
kepada keluarganya adalah beliau selalu menegur dan memperingati bagi siapa
saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang
dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini dilakukan
Syaikh Ahmad karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang
tidak selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang
dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan
membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut
cinta. Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa
Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syaikh
Ahmad, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban
di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikh
Ahmad menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang
tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja.
Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan
keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau, “Dan laki-laki
adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban
terhadapnya.”
E. Karir Syaikh Ahmad di Makkah
Kealiman Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dilangkatnya beliau
menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan
sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini
hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikh Ahmad Al Khathib menjadi
imam dan khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat
pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa
Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib
itu diperoleh Syaikh Ahmad berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua,
kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikh Ahmad menjadi imam
& khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam
Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan.
Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika
dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di
tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikh Ahmad
pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan
imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang
telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikh Ahmad yang tak
lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan
dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikh Ahmad
sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
F. Sekelumit Aktifitas Keseharian Syaikh Ahmad Al Khathib
Keseharian para ulama memang sangat menakjubkan. Di setiap
aktifitasnya selalu bernilai ibadah, sebagaimana kata pepatah Arab,‘adatul
‘abdid ‘ibadah wa ‘ibadatul ghafil ‘adah (kebiasaannya ahli ibadah itu bernilai
ibadah sementara ibadahnya orang lalai itu hanya bernilai kebiasaan saja).
Mereka sangat mahir dalam membagi waktu dan sangat berhati-hati dalam
menggunakan waktunya. Meski mereka memiliki aktifitas mengajar, akan tetapi
tidak lantas melupakan hak keluarganya. Mereka tahu kapan harus bercengkrama
dengan keluarga dan kapan harus pergi mengajar para muridnya. Demikianlah yang
terjadi pada diri seorang Syaikh Ahmad rahimahullah.
Berhubungan dengan aktifitas keseharian Syaikh Ahmad,
sebaiknya kita dengar langsung saja penuturan Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar yang
memang hidup sezaman, “(Setelah mengajar para santri di Masjid Al Haram),
beliau pulang ke rumah untuk sarapan pagi dan berbaring (tidur-tiduran atau
dalam bahasa jawa klekaran) sejenak, lalu kembali bermudzakarah sampai datang
waktu zhuhur. Pergilah beliau ke masjid untuk menunaikan shalat zhuhur secara
berjama’ah. (Usai shalat jama’ah), beliau pulang ke rumah untuk menyampaikan
dua mata pelajar an kepada murid-muridnya, lalu makan siang dan tidur siang
sesaat. Lalu beliau pergi ke masjid untuk menunaikan shalat ‘Ashar secara
berjama’ah, pulang ke rumah menyampaikan satu pelajaran kepada para santri,
kemudian mengulangi (mudzakarah) pelajaran-pelajarannya hingga datang maghrib.
Beliau pun pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah dan menyampaikan satu
pelajaran berupa nasehat dan arahan sampai datang ‘Isya.
Setelah shalat, beliau pulang ke rumah untuk makan malam dan
bercengkrama dengan keluarganya lalu tidur sedini mungkin. Ia bangun tidur pada
sepertiga malam terakhir dan menyibukkan diri dengan menulis sampai dekat waktu
fajar, lalu pergi ke masjid. Ia pun memulai aktifitasnya seperti biasanya.
Demikianlah beliau menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah dan
menyebarkan agama-Nya.” [Siyar wa
Tarajim (hal. 40)]
G. Akhlak Syaikh
Ahmad Al Khathib
Syaikh Ahmad Al Khathib dikenal ditengah masyarakat dengan
baik hatinya, mulia akhlaknya, lurus niatnya, tidak suka menjilat (cari muka),
dan amat murka dengan orang-orang yang sombong, dan lapang dadfa.
Itulah akhlak seorang ulama yang benar-benar mengamalkan
ilmunya. Meski kedudukannya tinggi, namun beliau tidak sombong. Justru dengan
kedudukannya yang tinggi itu, beliau manfaatkan untuk mengajarkan kepada
manusia nilai-nilai positif. Maka tidak heran apabila nama beliau harum di
kalangan manusia dan bahkan berkat akhlak mulianya itu dapat mengundang ratusan
santri dari berbagai kalangan untuk belajar kepadanya.
H. Wafatnya Syaikh
Ahmad
Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’
Syaikh Ahmad ke hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini.
Ya, jatah beliau tinggal di dunia ini telah habis setelah mencetak kader-kader
yang hingga detik ini masih disebut-sebut. Jasad beliau memang sudah tiada,
namun kehadirannya seakan-akan masih bisa dirasakan karena keilmuan dan
peninggalan-peninggalannya berupa murid-muridnya yang terus memperjuangkan
misi-misinya dan terutama karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga
hari ini. Rahimahullah wa askanahu fasiha jannatih.
I. Karya Tulis
Syaikh Ahmad
Karya-karya tulis Syaikh Ahmad dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa
Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema
kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan
tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al
Quran & Sunnah.
Karya-karya Syaikh Ahmad dalam bahasab ’Arab:
1. Hasyiyah
An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
2. Al
Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
3. Ad Da’il
Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal
Furu’
4. Raudhatul
Hussab
5. Mu’inul
Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
6. As Suyuf
wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
7. Al Qaulul
Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
8. An Natijah
Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
9. Ad
Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
10. Fathul
Khabir fi Basmalatit Tafsir
11. Al ‘Umad
fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
12. Kasyfur
Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
13. Hallul
‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
14. Izhhar
Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
15. Kasyful
‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
16. As Saifu
Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
17. Al
Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
18. Raf’ul
Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
19. Iqna’un
Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
20. Tanbihul
Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
21. Al Qaulul
Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
22. Tanbihul
Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah
Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin
Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di Sarekat Islam (SI)
23. Hasyiyah
Fathul Jawwad dalam 5 jilid
24. Fatawa Al
Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
25. Al Qaulul
Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
Adapun yang berbahasa Melayu adalah:
26. Mu’allimul
Hussab fi ‘Ilmil Hisab
27. Ar Riyadh
Al Wardiyyah fi [Ushulit Tauhid wa] Al Fiqh Asy Syafi’i
28. Al
Manhajul Masyru’ fil Mawarits
29. Dhaus
Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
30. Shulhul
Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
31. Al Jawahir
Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
32. Fathul
Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
33. Al Aqwal
Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
34. Husnud
Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
35. Ash Sharim
Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
36. Maslakur
Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
37. Izhhar
Zughalil Kadzibin
38. Al Ayat Al
Bayyinat fi Raf’il Khurafat
39. Al Jawi
fin Nahw
40. Sulamun
Nahw
41. Al
Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
42. Asy Syumus
Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
43. Sallul
Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
44. Al Bahjah
fil A’malil Jaibiyyah
45. Irsyadul
Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
46. Fatawa Al
Khathib dalam versi bahasa Melayu
J. Murid-Murid
Syaikh Ahmad Rahimahullah
Mengenai murid-murid Syaikh Ahmad rahimahullah, Siradjuddin
‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang
kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syeikh Sulaiman Ar
Rasuli, Syeikh Muhd. Jamil Jaho, Syeikh ‘Abbas Qadhli, Syeikh Musthafa Purba
Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia
pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau
ini.” [Thabaqatus Syafi’iyah (hal. 406)]
Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama
Nusantara di banyak tempat.Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal
dalam Beberapa Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun demikian,
tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol,
baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:
1. Syaikh
‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama
kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di
antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi
terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama
pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
2. Muhammad
Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah
–pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
3. Ustadz
Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah –salah satu pendiri
Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
4. Ustadz
‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin
yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al Irsyad
5. Syaikh
‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari rahimahullah –mufti Kerajaan
Indragiri-.
6. Muhammad
Thaib ‘Umar
7. Dan
lain-lain.
K. Usaha (Juhud)
Syaikh Ahmad dalam Memurnikan Ajaran Islam di Nusantara Khususnya dan Dunia
Islam Umumnya
Usaha yang dilancarkan Syaikh Ahmad dalam memurnikan ajaran
Islam dari perkara-perkara bid’ah yang menyesatkan namun tidak disadari di
Nusantara diekspresikan melalui murid-murid dan karya-karyanya.
Adapun melalui karya-karyanya, Syaikh Ahmad sangat gigih dan
keras tanpa kompromi sediktpun dalam memberantas bid’ah, khurafat, tarikat,
ajaran menyimpang dan adat yang bertolak belakang dengan syariat. Dalam masalah
tarekat, misalnya, Syaikh Ahmad menulis minimal tiga kitab rudud (bantahan),
yaitu, Izhhar Zaughalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang kemudian
ditranslit ke dalam tulisan latin oleh A. Arief dengan judul Thariqat
Naqasyabandiyah, As Saiful Battar fi Mahq Kalimat Ba’dhil Aghrar , dan Al Ayat
Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat. Bahasan dalam kitab-kitab ini mengacu kepada
kitab Al Ba’its fi Inkaril Bida’ wal Hawadits karya Imam Abu Syamah
rahimahullah. Menurut Ustadz Hamka, sebagaimana yang dikutib Ustadz Armen Halim
Narorahimahullah dalam salah satu kajiannya, metode bantahan kitab ini –Al
Izhhar- persis dengan bantahan yang diberikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah terhadap orang-orang menyimpang di zamannya. Melalui karya-karya
ini pula Syaikh Ahmad membantah pandangan Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka dan
Syaikh Ali Khathib yang gigih mempertahankan tharikat Naqsyabandiyyah.
Sebenarnya melalui judul-judul kitab-kitab Syaikh Ahmad saja
kita sudah faham kurang lebihnya bahasan yang disajikan dalam masing-masing
kitab trsebut. Misalnya kitab Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’ yang berarti
pembelaan yang baik tentang larangan melakukan bid’ah, dapat diasumsikan
bahasan dalam kitab ini banyak berbicara masalah bid’ah dan khurafat di tengah
masyarakat. Ini menunjukkan bahwa usaha Syaikh Ahmad benar-benar sangat berarti
dalam pemurniat Islam di negerinya.
Dalam masalah adat yang menyimpang terutama dalam masalah
waris dan harta pusaka, Syaikh Ahmad menulis Ad Da’il Mamu’dan Al Manhajul Masyru’.
Kedua buku ini dicetak dalam satu jilid dengan Ad Da’il Masmu’ dicetak
dipinggiran Al Manhajul Masyru’.
Tidak hanya sapai di situ perjuangan Syaikh Ahmad dalam
membersihkan noda-noda keyakinan umat Islam, beliau juga membantah syubhat-syubhat yang dihembuskan Belanda
terutama mempertanyakan keabsahan terjadinya isra’ dan mi’raj di tengah kaum
muslimin di Indonesia. Beliau kemudian membantah syubhat-syubhat dalam bukunya,
Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang terbit tahun 1312 H. Berikutnya,
beliau juga menulis Irsyadul Hayara fi Radd Syubahin Nashara.
Ada kitab Ar Riyadhul Wardiyyah fil Ushul wal Furu’ yang
beliau tulis dalam bahasa Melayu huruf ‘Arab, membicarakan masalah dasar-dasar
aqidah-tauhid dan fiqih syafi’I praktis supaya menjadi pegangan orang-orang
yang balu belajar dan ‘awwam dari kalangan kaum muslimin. Kitab ini sudah
dicetak berulang kali. Allahua’lam.[]